[JAKARTA] Aparat penegak hukum diminta transparan dalam
menangani kasus dugaan korupsi yang melibatkan para kepala daerah. Hal
itu supaya proses penyelidikan ataupun penyidikan tidak diselewengkan
untuk memeras kepala daerah.
“Temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tentang transaksi mencurigakan yang melibatkan kepala daerah beberapa waktu lalu dikhawatirkan akan menjadi alat baru bagi oknum aparat penegak hukum untuk memeras para kepala daerah. Temuan itu membuka peluang terjadinya penyelidikan tidak resmi oleh oknum penegak hukum,” kata ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane dalam jumpa pers bersama Aliansi LSM untuk Advokasi Pembangunan Daerah di Jakarta, Kamis (18/8).
Aliansi itu terdiri atas 13 LSM seperti Seven Strategic Studies, Observer Indonesia, dan Pusat Studi Nusantara.
Bulan Juni lalu, Ketua PPATK Yunus Hisein mengungkapkan ada sebanyak 1.135 transaksi mencurigakan yang dilakukan bendahara daerah, 379 transaksi dilakukan bupati, dan 339 transaksi oleh pejabat Pemda lainnya. Salah satu praktik yang mencurigakan adalah penyalahgunaan dana alokasi umum (DAU) yang ditampung di rekening pribadi, kerabat dan bahkan diperuntukkan untuk membangun sebuah usaha.
Neta menegaskan temuan PPATK memang harus ditindaklanjuti dan diusut tuntas oleh penegak hukum. Namun dalam praktiknya, temuan itu dimanfaatkan oleh oknum penegak hukum. Sebagai contoh seorang bupati di Riau menghabiskan uang hingga Rp 11 miliar dalam menghadapi tuduhan korupsi yang hanya Rp 7 miliar. Praktik seperti itu tidak bisa dibiarkan. Karena itu penegak hukum harus transparan dan obyektif dalam menindaklanjuti temuan PPATK tersebut.
Direktur advokasi Seven Strategic Studies Robikin Emhas menegaskan posisi kepala daerah memang berpotensi diganggu baik secara politik maupun hukum. Gangguan itu terutama ditujukan untuk menekan. Selain itu, tidak jarang tudingan korupsi digunakan sebagai sarana kampanye hitam guna menyudutkan incumbent dalam Pemilukada.
“Kami meminta instansi penegak hukum dapat meminimalisir aparatnya agar tidak menyalahgunakan kewenangan. Peluang terjadinya penyalahgunaan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab untuk menekan kepala daerah sangat mengganggu kinerja para kepala daerah," tegasnya. [R-14]
“Temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tentang transaksi mencurigakan yang melibatkan kepala daerah beberapa waktu lalu dikhawatirkan akan menjadi alat baru bagi oknum aparat penegak hukum untuk memeras para kepala daerah. Temuan itu membuka peluang terjadinya penyelidikan tidak resmi oleh oknum penegak hukum,” kata ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane dalam jumpa pers bersama Aliansi LSM untuk Advokasi Pembangunan Daerah di Jakarta, Kamis (18/8).
Aliansi itu terdiri atas 13 LSM seperti Seven Strategic Studies, Observer Indonesia, dan Pusat Studi Nusantara.
Bulan Juni lalu, Ketua PPATK Yunus Hisein mengungkapkan ada sebanyak 1.135 transaksi mencurigakan yang dilakukan bendahara daerah, 379 transaksi dilakukan bupati, dan 339 transaksi oleh pejabat Pemda lainnya. Salah satu praktik yang mencurigakan adalah penyalahgunaan dana alokasi umum (DAU) yang ditampung di rekening pribadi, kerabat dan bahkan diperuntukkan untuk membangun sebuah usaha.
Neta menegaskan temuan PPATK memang harus ditindaklanjuti dan diusut tuntas oleh penegak hukum. Namun dalam praktiknya, temuan itu dimanfaatkan oleh oknum penegak hukum. Sebagai contoh seorang bupati di Riau menghabiskan uang hingga Rp 11 miliar dalam menghadapi tuduhan korupsi yang hanya Rp 7 miliar. Praktik seperti itu tidak bisa dibiarkan. Karena itu penegak hukum harus transparan dan obyektif dalam menindaklanjuti temuan PPATK tersebut.
Direktur advokasi Seven Strategic Studies Robikin Emhas menegaskan posisi kepala daerah memang berpotensi diganggu baik secara politik maupun hukum. Gangguan itu terutama ditujukan untuk menekan. Selain itu, tidak jarang tudingan korupsi digunakan sebagai sarana kampanye hitam guna menyudutkan incumbent dalam Pemilukada.
“Kami meminta instansi penegak hukum dapat meminimalisir aparatnya agar tidak menyalahgunakan kewenangan. Peluang terjadinya penyalahgunaan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab untuk menekan kepala daerah sangat mengganggu kinerja para kepala daerah," tegasnya. [R-14]