Koalisi Partai Dinilai Jadi Masalah Dalam Presidensial
Diskusi publik bertajuk \"Sistem Kepartaian dan Presidensialisme\" (Foto: PelitaOnline | Hurri)
Selain dapat dijadikan alat tawar impeachment atau pemakzulan, sistem presidensial juga dapat dijadikan alat untuk menyandera kepentingan pemerintah ditengah jalan.
akarta, PelitaOnline – HUBUNGAN antara eksekutif, legislatif dan yudikatif dinilai tidak akan pernah efektif dalam sistem pemerintahan yang menganut sistem presidensial.
Selain dapat dijadikan alat tawar impeachment atau pemakzulan, sistem presidensial juga dapat dijadikan alat untuk menyandera kepentingan pemerintah ditengah jalan apabila presiden dan wakil presiden terbukti melakukan pelanggaran konstitusi.
Dewan Pembina Observer Indonesia Mulyana mengatakan, praktek presidensialisme di Indonesia tidak mengandung ciri-ciri ‘hyper-presidensialisme' sebagaimana berlaku di negara Argentina dan Filipina atau semi-presidensialisme di Rusia, Perancis. Bukan hanya itu, praktik presidensialine di Tanah Air juga, menurut Mulyana, berbeda sistem dengan yang berlaku di Rusia.
"Presiden Rusia 'legally superior, independent and free to manuver' mengangkat perdana menteri, mengusulkan gubernur, membubarkan Duma (parlemen) dalam keadaan darurat tertentu dan mengeluarkan dekrit presiden,” jelas Mulyana pada acara diskusi publik bertajuk "Sistem Kepartaian dan Presidensialisme," di Jakarta, Kamis (5/4).
“Juga bukan hyper-presidensialism dengan karakter konstitusional pemisahan khusus tanpa 'check and balance," sambungnya.
Di Indonesia, Mulyana mengatakan bahwadasar hukum mengenai pemakzulan tercantum dalam Pasal 7B serta 24c ayat 2), UU no 24/2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, serta pasal-pasal dalam undang-undang no 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (pasal 77 ayat 4, serta pasal 184-189).
Pembangunan koalisi, seperti koalisi di Pemerintahan SBY-Boediono, cenderung lebih problematik dalam sistem-sistem parlementer, karena adanya perbedaan sikap dan pandagan di dalam partai koalisi untuk mempertahankan kekuasan.
Problem tersebut, menurut Mulyana, disebabkan karena sistem presidensial kekurangan mekanisme untuk menyakinkan bahwa eksekutif memiliki mayoritas dalam institusi legislatif.
"Kemandegan sering memperlemah kekuasaan eksekutif. Problem-problem kecakapan memerintah, dan konlfik yang sengit antara DPR dan Presiden, kadang-kadang menimbulkan kemacetan-kemacetan demokrasi," ungkapnya.
Karenanya, Mulyana mengatakan bahwa problem sistem presidensial bukan sekedar terletak pada inkompabalitas presidensialisme dengan sistem multipartai, akan tetapi lebih kepada labilitas dan inefaktivitas dukungan (partai) koalisi dalam mendukung jalannya pemerintah.
Sumber : Pelita Online
akarta, PelitaOnline – HUBUNGAN antara eksekutif, legislatif dan yudikatif dinilai tidak akan pernah efektif dalam sistem pemerintahan yang menganut sistem presidensial.
Selain dapat dijadikan alat tawar impeachment atau pemakzulan, sistem presidensial juga dapat dijadikan alat untuk menyandera kepentingan pemerintah ditengah jalan apabila presiden dan wakil presiden terbukti melakukan pelanggaran konstitusi.
Dewan Pembina Observer Indonesia Mulyana mengatakan, praktek presidensialisme di Indonesia tidak mengandung ciri-ciri ‘hyper-presidensialisme' sebagaimana berlaku di negara Argentina dan Filipina atau semi-presidensialisme di Rusia, Perancis. Bukan hanya itu, praktik presidensialine di Tanah Air juga, menurut Mulyana, berbeda sistem dengan yang berlaku di Rusia.
"Presiden Rusia 'legally superior, independent and free to manuver' mengangkat perdana menteri, mengusulkan gubernur, membubarkan Duma (parlemen) dalam keadaan darurat tertentu dan mengeluarkan dekrit presiden,” jelas Mulyana pada acara diskusi publik bertajuk "Sistem Kepartaian dan Presidensialisme," di Jakarta, Kamis (5/4).
“Juga bukan hyper-presidensialism dengan karakter konstitusional pemisahan khusus tanpa 'check and balance," sambungnya.
Di Indonesia, Mulyana mengatakan bahwadasar hukum mengenai pemakzulan tercantum dalam Pasal 7B serta 24c ayat 2), UU no 24/2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, serta pasal-pasal dalam undang-undang no 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (pasal 77 ayat 4, serta pasal 184-189).
Pembangunan koalisi, seperti koalisi di Pemerintahan SBY-Boediono, cenderung lebih problematik dalam sistem-sistem parlementer, karena adanya perbedaan sikap dan pandagan di dalam partai koalisi untuk mempertahankan kekuasan.
Problem tersebut, menurut Mulyana, disebabkan karena sistem presidensial kekurangan mekanisme untuk menyakinkan bahwa eksekutif memiliki mayoritas dalam institusi legislatif.
"Kemandegan sering memperlemah kekuasaan eksekutif. Problem-problem kecakapan memerintah, dan konlfik yang sengit antara DPR dan Presiden, kadang-kadang menimbulkan kemacetan-kemacetan demokrasi," ungkapnya.
Karenanya, Mulyana mengatakan bahwa problem sistem presidensial bukan sekedar terletak pada inkompabalitas presidensialisme dengan sistem multipartai, akan tetapi lebih kepada labilitas dan inefaktivitas dukungan (partai) koalisi dalam mendukung jalannya pemerintah.
Sumber : Pelita Online
0 komentar:
Posting Komentar