Jumat, 06 September 2013

Pipit R. Kartawidjaja | Hasrat Pemilu Selayak Sang Profesor

Filled under:

Pipit R. Kartawidjaja | Hasrat Pemilu Selayak Sang Profesor

image_demo_40
Bila ada stereotipe terhadap sosok profesor secara fisik dan pikir, maka itu tergambar pada Pipit Rochijat Kartawidjaja. Tak berlatarbelakang pendidikan formal di bidang hukum, politik apalagi pemilu, kerja otak Pipit dirumuskan jernih melalui buku, opini dan ucap. Imajinasinya luas yang hasilnya nikmat dikonsumsi seperti fiksi. Hasratnya terhadap pemilu dan pemerintahan bisa menyaingi yang bergelar profesor sekalipun.

Pemahaman Pipit terhadap kepemiluan diperoleh melalui pendidikan kultural, bukan formal. Lelaki kelahiran Bandung, 30 Agustus 1949 selapas SMA (1968) melanjutkan studi di Institut Teknologi Bandung. Pada 1971 ia ke Jerman (Barat) melanjutkan studi teknik elektro di Technisce Universitaet, Berlin (Barat) namun hanya mampu mencapai tingkat Sarjana Muda di tahun 1975.

Keterlibatan Pipit dalam kepemiluan lahir pada konteks kehidupan bernegara Jerman yang bisa dibilang sesuai antara teori dan praktek. Konstitusi Jerman mengharuskan warganya berpolitik. Sebagai Negara Republik yang demokratis, Jerman membagai wilayah antara Negara, Masyarakat, dan Pemerintah jelas sekali. Ada pembelajaran yang baik pascaotoritarian fasisme Hitler.

Seperti menemukan cerminan tangan besi Nazi pada pemerintahan Orde Baru di Indonesia, Pipit bergerak menghantam Soeharto melalui diskusi, tulisan dan demonstrasi berdasar referensi konkret bernama “Jerman”. Melalui organ Perhimpunan Pelajar Indonesia di Jerman Barat aktivisme itu terwadai, tersalurkan. Sikap idealismenya itu menyebabkan paspornya sempat dicabut pemerintah Indonesia. Alasan resminya karena dianggap memecah belah mahasiswa Indonesia di Jerman.

Konteks senjang keidealan politik antara Jerman dan Indonesia ciptakan rumusan intelektual Pipit dalam bentuk buku. Di bidang pemilu dan demokrasi Pipit menulis, Pemerintah Bukanlah Negara (Henk Publishing, 2005); Alokasi Kursi: Kadar Keterwakilan Penduduk dan Pemilih (Elsam 2003); Matematika Pemilu (Inside 2004), Demokrasi Sosial dalam Paradigma Cerita Silat (Penerbit Rakit/Bengkel Teater 2000). Bersama Mulyana Kusumah menulis Sistem Pemilu dan Pemilihan Presiden (KIPP Eropah/Inside/Friedrich Naumann Stifung 2002); Kisah Mini Sistem Kepartaian (7 Strategic Studies, 2003) dan Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung: Kasus Indonesia dan Studi Perbandingan (7 Strategic Studies/Inside/Watch Indonesia e.V Berlin 2005). Bersama Ivan A. Hadar dan Muhdi, memproduksi komik, Demokrasi-Demokrasian (IDE/Fried Ebert Stiftung 2002).

Di luar bidang pemilu dan demokrasi, Pipit pun menulis buku. Di antaranya, Karya semi biografinya dipublikasikan di majalah Indonesia No. 40/1985 (Cornell Southest Asia Program), berjudul, “I Am PKI or Non PKI?”; Otobiografi Sengkuni: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (2006). Bahkan Pipit pun melahirkan karya fiksi seperti Bharatayudha Negeri Antah Berantah (Humor 1993).

Budayawan Emha Ainun Nadjib menilai Pipit penjelas hal-hal substansial dan prinsipil secara sederhana. Ini kelebihan Pipit yang menguraikan fakta bersama imajinasi.

Profesor Daniel Lev menilai pemaparan Pipit menulis selalu menarik, sangat hidup, mendalam, lucu, berdasarkan pengetahuan, pikiran dan ide yang kompleks dengan memakai bahasa Indonesia yang khas. Hampir selalu serius sebetulnya, asal saja para pembaca sadar atas pokok pangkal keseriusan tersebut.

Sejak 1971 hingga kini Pipit menetap di Berlin. Pada Mei 1992 ia menjadi pegawai di Lembaga Negara untuk Struktur Ketenagakerjaan dan Pasar Kerja (Landesagentur fuer Struktur und Arbeit), salah satu lembaga di bawah Kementerian Negara Tenaga Kerja, Masalah Sosial, Kesehatan dan Perempuan pada negara bagian Bradendurg. Ia juga pernah menjadi anggota presidium Watch Indonesia Berlin.

Banyak usul dan kritik prinsipil yang diutarakan Pipit. Di antaranya soal referendum, pemisahan pemilu nasional dan lokal (legislatif dan pemimpin) dan partai lokal.

Indonesia bagi Pipit harus mengadopsi referendum. Bukan referendum seperti yang di Timor Timur, tapi referendum hak bertanya di pertengahan masa jabatan pemerintahan. Dengan referendum, rakyat melalui perwakilan organisasi atau LSM berkesempatan menurunkan anggota dewan yang dinilai buruk selama bertugas sampai di paruh waktu masa jabatannya itu dinilai tidak mengaspirasikan suara rakyat agar diganti dengan yang baru.

Soal pemilu nasional dan daerah yang harus dipisah alasannya karena rakyat akan bisa membedakan isu nasional dan lokal/daerah yang dikampanyekan para caleg. Selama ini ambiguitas pemilu berdampak pada masyarakat rendah didikan politik. Pemisahan daerah dan nasional hadirkan kendali terhadap pemerintah di tengah-tengah masa pemerintahan.

Mengenai partai lokal Pipit menekankan politik partisipatif yang alurnya dari akar rumput lalu menasional. Buktinya, berdasarkan statistik hasil pemlu 2004, PKB itu pemilih terbesarnya berasal dari warga lokal, Jawa Timur. Partai menjadi kuat karena dikenal dan melibatkan masyarakat secara lebih langsung. Intinya, perpolitikan Indonesia sebenarnya belum demokratis betul karena semuanya masih diperitah pusat.

Pipit berpetuah untuk perubahan yang lebih baik. Apa bedanya terjaga tapi tak berbuat apa-apa dengan tidur? Hampi tak ada bedanya. Indonesia dengan pemilu di dalamnya sangat membutuhkan kita berbuat. Masih bisa memperbaiki, meski harus terus segera. Sedikit demi sedikit berubah baik menjadi sangat berarti. Demi demokrasi, pemerintahan dari, oleh, untuk rakyat. []

0 komentar:

Posting Komentar

Followers