Rakyat Vs
Kapitalis?
Rakyat
tersenyum bahagia melihat Joko Widodo dengan keramahan dan kesederhanaannya.
Sementara banyak orang yang terperangah dengan kemewahan yang ditampilkan
Prabowo Subianto, bak potret pengagum kapitalis.
Bukan cuma
satu atau dua kali masyarakat disuguhi pemandangan mewah Prabowo Subianto.
Capres yang diusung poros Partai Gerindra ini selalu tampil dengan
simbol-simbol kapitalis. Turun dari helikopter, mobil Lexus seharga miliaran
rupiah dan kuda super yang nilainya serupa, sudah menjadi bagian dalam
kesehariannya.
Pengamat
politik dari Habibie Center, Bawono Kumoro, pernah mengkritik Prabowo.
Dia menasehati Prabowo untuk mengurangi memperlihatkan gaya hidup mewah.
"Berbagai
hasil survei memperlihatkan masyarakat lebih memilih pemimpin dengan karakter
sederhana. Dukungan terhadap Prabowo dikhawatirkan akan menurun karena sering
memperlihatkan gaya hidup mewah," kata Bawono Kumoro di Jakarta, awal
pekan.
Menurut
Bawono Kumoro, wajar Prabowo memperlihatkan kemewahan bahkan saat
berinteraksi dengan publik. Sebab, dia berasal dari keluarga mapan. Tapi,
sambungnya, saat ini publik lebih menyukai figur pemimpin yang sederhana.
Prabowo yang
berlatar belakang militer, memang selalu berusaha tampil gagah, menghormat ke
kanan-kiri dan mengangkat tangan seraya melambai, meski kadang terlihat seperti
gaya menghormat pemimpin NAZI, Adolf Hitler.
Tentu
sebagian orang berdecak kagum dengan sosok kesempurnaan Prabowo. Pria cerdas,
tampan, gagah, plus harta yang melimpah. Harus diakui, Prabowo merupakan figur
idaman kaum hawa. Apalagi dia kini tidak memiliki pendamping hidup setelah
pernikahannya dengan anak keempat Presiden Soeharto, Siti Hediati Hariyadi,
kandas.
Perlu
diketahui, Prabowo memperoleh pangkat bintang tiga (letnan jenderal) di usia 46
tahun. Sebuah karier militer yang fantastis. Sayang, prestasi itu terdegradasi
lantaran sanksi pemecatan dari militer menyusul dugaan keterlibatan dalam kasus
kejahatan kemanusiaan, yakni penculikan 13 aktivis reformasi.
Saat datang
ke kantor KPU Pusat guna mengambil nomor urut Pilpres 2014, Prabowo dan
pasangannya, Hatta Rajasa, datang dengan kendaraan mewah, termasuk
iring-iringannya. Mereka pertontonkan kemewahan dan kegagahan. Publik
terperangah, berdecak, ada pula yang terlihat segan, bahkan gentar.
Tatapan
‘ngeri’ publik ke Prabowo adalah wajar. Sebab, yang ada di hadapan mereka
memperlihatkan suasana kemiliteran. Militer di negeri ini bagaimanapun telah
memberikan berbagai sugesti terhadap alam bawah sadar rakyat.
Bukan isapan
jempol bila berhadapan langsung dengan para petinggi militer, ada rasa segan,
hormat bahkan takut-takut, dan itu adalah hal yang wajar mengingat sejarah
militer kita telah memberikan ‘trauma’ yang berkepanjangan. Apalagi mengingat
kasus-kasus yang terkait dengan masa lalu Prabowo. Maka wajar saja tidak ada
kesan hangat, tulus, penuh senyum dan tawa dari masyarakat yang menyaksikan
kehadiran Prabowo-Hatta. Trauma masa lalu!
Sebaliknya,
rakyat tampak ceria, riang, dan penuh kehangatan saat Joko Widodo (Jokowi)
tiba. Capres yang diusung poros PDIP ini juga ke kantor KPU Pusat saat itu
untuk mengambil nomor urut Pilpres 2014.
Jokowi dan
pasangannya, Jusuf Kalla (JK), tampil sangat natural, sederhana. Gaya itu
memang keseharian Jokowi, kemeja lengan panjang digulung dengan bagian bawah
yang dibiarkan keluar. Tidak ada kesan mewah secuilpun, sungguh merakyat.
Apalagi dia datang dengan menumpang bajaj.
Wajah-wajah
rakyat yang berjumpa dengan Jokowi tampak tersenyum bahkan tertawa gembira.
Latar belakang Jokowi yang sipil atau rakyat biasa itu membuat publik merasa
nyaman. Terlebih Jokowi memang secara konsisten selama ini, sejak dari Solo,
selalu berjalan kaki keluar masuk kampung-kampung rakyat, lewat langsung di
depan pintu-pintu rumahnya warga. Ekspresi wajah rakyat saat bertemu dan
berhadapan dengan Jokowi tanpa beban, tak ada trauma sebagaimana trauma rakyat
kepada militer di negera ini.
Memang
penampilan dua sosok itu ibarat langit dan bumi. Jokowi adalah kita, rakyat
sebagaimana adanya. Kesederhanaan, keramahan, kenyataan, dan harapan. Bukan
mimpi, imajinasi, ambisi, atau obsesi penjunjung kapitalis.
Semua ini
bisa menjadi bahan pertimbangan realistis bagi rakyat. Jokowi dan Prabowo kini
bertarung menuju kursi RI-1. Rakyat yang memutuskan kepada siapa harapan hidup
selaras dan harmoni bisa digantungkan.
Perlu diingat, bangsa Indonesia merindukan hidup tanpa
intimidasi dan ketakutan. Rakyat memerlukan pemimpin yang nyata, bukan
imajinasi. Pemimpin yang tahu persoalan bangsa dan bekerja. Bukan pemimpin yang
menyuguhkan mimpi kemewahan dengan simbol-simbol kapitalis. (fry)
0 komentar:
Posting Komentar