Jumat, 05 Desember 2014

DPR Setujui RUU MD3 Menjadi UU

Filled under:

Setelah RUU MD3 disetujui, pemerintah siap memenuhi undangan rapat DPR.
DPR RI melalui rapat paripurna di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Jumat malam, menyetujui Rancangan Undang Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) menjadi undang-undang.

Rapat paripurna yang dipimpin Ketua DPR RI Setya Novanto dan dihadiri sebagian besar anggota dari 10 fraksi di DPR RI sepakat menyetujui RUU MD3 menjadi UU tanpa banyak interupsi.

Ketua Pansus RUU MD3 Saan Mustopa menyampaikan laporan hasil rapat Pansus pada rapat paripurna dan kemudian menyerahkannya kepada pimpinan rapat. Setya Novanto yang memimpin rapat paripurna kemudian meminta persetujuan anggota DPR RI yang hadir.

"Apakah RUU tentang perubahan atas UU 17 Tahun 2014 tentang MD3 ini dapat disetujui?" tanya Setya Novanto kepada peserta rapat paripurna.

"Setuju!" teriak sebagian besar anggota rapat paripurna yang hadir.

Setya Novanto kemudian mengetokkan palu tanda disetujuinya RUU MD3 menjadi undang-undang.

Dalam revisi terbatas atas UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3 ini dilakukan perubahan pada beberapa pasal yakni Pasal 74 ayat 3,4,5,6 dihapus. Pasal 97 ayat 2 diubah. Pasal 98 ayat 7, 8, 9 dihapus. Pasal 104 ayat 2 diubah. Pasal 115 ayat 2 diubah. Pasal 121 ayat 2 diubah. Pasal 152 ayat 2 diubah.

Selain penghapusan dan perubahan, juga ada penambahan pasal baru, yakni Pasal 425A.

Usai rapat paripurna, perwakilan dari Pemerintah yakni Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly yang hadir pada rapat paripurna mengatakan, Pemerintah menyambut baik disetujuinya perubahan UU MD3 ini.

Dengan telah disetujuinya perubahan UU MD3 ini, kata dia, maka Pemerintah akan melaksanakan rapat-rapat dengan DPR RI.

"Setelah DPR bersatu pada masa sidang kedua, maka menteri-menteri bisa rapat kerja dengan DPR," katanya.

Revisi UU MD3 merupakan bagian dari kesepakatan islah atau rekonsiliasi antara Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat di DPR RI.
Sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5481cda3ea4e6/dpr-setujui-ruu-md3-menjadi-uu
Share:

Posted By OBSERVER INDONESIA18.30

Pembubaran DPR secara Konstitusional?

Filled under:



Begitu seringnya pernyataan-pernyataan kontroversial dikeluarkan oleh elite politik, hingga berita ini sudah tidak lagi mengejutkan. Namun demikian, fenomena ini perlu untuk ditelaah dari segi hukum untuk dapat menelusuri peluang hukum yang ada dalam spekulasi tersebut. 

Wewenang pembubaran parlemen
Secara teoritis, dalam sistem presidensil, presiden tidak memiliki kewenangan untuk membubarkan parlemen, begitu pula sebaliknya. Kekuatan utama dalam konsep sistem presidensil memang terletak pada prinsip pokok tersebut, terciptanya keseimbangan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif.

Berbeda dengan yang terjadi dalam sistem parlementer dan sistem semi-parlementer di negara-negara non-monarki, presiden sebagai kepala negara (head of state) biasanya memiliki kewenangan untuk membubarkan parlemen dengan beberapa variasi prasyarat kondisi dan mekanisme prosedural. Pengaturan tersebut ditujukan untuk mengimbangi kekuasaan parlemen yang memiliki kewenangan untuk menjatuhkan kabinet, baik terhadap tiap anggota kabinet ataupun keseluruhan kabinet. 

Prasyarat kondisi yang biasanya ditentukan dalam konsitusi adalah terjadinya kemacetan/kebuntuan politik antara eksekutif (kabinet) dan legislatif (parlemen). Gambaran sederhana di beberapa negara bila hal tersebut terjadi adalah, Perdana Menteri sebagai pimpinan kabinet, mengajukan permohonan kepada Presiden untuk membubarkan parlemen dan mengadakan pemilihan umum ulang bagi anggota parlemen. 

Bila permohonan itu disetujui dan disahkan oleh Presiden, maka secara resmi anggota parlemen akan melepaskan jabatannya. Dan dalam waktu yang ditentukan, akan ada pemilihan ulang untuk memilih anggota parlemen yang baru. Administrasi pemerintahan rutin dan penyelenggaraan pemilu biasanya akan dipegang oleh kabinet demisioner sampai dengan parlemen baru terbentuk dan berhasil memilih perdana menteri dan kabinet yang baru. Prinsip yang dijunjung adalah keputusan akhir tetap ada di tangan rakyat.

Tiga model sistem pemerintahan yang utama, yakni presidensil, parlementer, dan semi-parlementer, dengan segala variannya merupakan konstruksi pengalaman sejarah politik yang panjang dari masing-masing negara demokrasi modern yang menganutnya. Walapun sebagian besar negara modern tetap mengacu pada model-model utama yang ada di negara penemunya, hampir bisa dipastikan tiap negara memiliki karakterisitk khas sesuai dengan sejarah dan dinamika sosial-ekonomi-politik dan budayanya masing-masing. 

Namun demikian, masing-masing sistem memiliki latar belakang pemikiran dan orientasi politiknya yang secara prinsipil berlainan. Perbedaan ini pada gilirannya akan melahirkan kerangka sistem pemerintahan tertentu, yang diharapkan dapat menjamin seoptimal mungkin orientasi politik yang sudah ditetapkan. Jadi, sebuah model sistem pemerintahan tidak serta merta dapat dimodifikasi sesuai kepentingan politik jangka pendek, karena ia dibangun dalam satu kerangka yang utuh dan konsisten.

Dekrit Presiden di Indonesia
Secara tidak langsung spekulasi mengenai pembubaran DPR munujuk pada sejarah Dekrit Presiden Soekarno yang membubarkan konstituante. Apa referensi tersebut tepat?

Pada 5 Juli 1959 Presiden Soekarno, sebagai kepala negara, mengeluarkan Dekrit Presiden yang bertujuan menyelesaikan kebuntuan dalam merumuskan undang-undang dasar. Pernyataan utama dari Dekrit adalah dibubarkanya Badan Konstituante hasil Pemilihan Umum Desember 1955, kembalinya konstitusi kepada UUD 1945, penarikan UUD 1950, dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, mendirikan lembaga-lembaga kenegaraan sesuai dengan UUD 1945. Saat itu pula, berakhirlah masa kerja Badan Konstituante dan sekaligus pula sistem pemerintahan parlementer. 

Selama masa Orde Baru, sejarah lebih sering mengedepankan catatan mengenai apa yang disebut dengan kegagalan konstituante daripada dinamika politik di belakangnya. Terhadap hal ini, Yusril Ihza Mahendra menyatakan (terlepas hal itu otoriter atau demokratis-Pen.) bahwa tindakan Soekarno tersebut merupakan revolusi hukum yang secara politik berhasil dipertahankan olehnya (Kompas: 31 Januari 01). 

Yang perlu dicermati dalam kasus ini adalah sistem pemerintahan pada saat itu yang memang berbeda dengan sistem pemerintahan yang dianut sekarang. Walaupun tidak secara langsung memberikan wewenang tertentu kepada presiden, UUDS 1950 mengatur suatu sistem pemerintahan parlementer yang menyebabkan presiden memiliki tempat yang sangat berbeda dalam struktur politik dan ketatanegaraan dengan yang berlaku saat ini. 

Bila ditilik secara rinci dalam dinamika politik yang berkembang pada masa itu, ada beberapa pertanyaan yang menarik untuk diangkat, yakni aktor/lembaga mana yang berinsiatif, dan prosedur hukum apa yang dilakukan?

Inisiatif utama dari Dekrit ini sepertinya tidak hanya berasal dari Presiden Soekarno (yang dalam masa genting ini sebenarnya sedang berada di Jepang), walaupun sangat mungkin diinspirasikan oleh beberapa pidato Soekarno untuk membubarkan parlemen pada tahun 1956. Dalam catatan sejarah, yang paling menonjol mengambil inisiatif ini ada tiga kelompok, yakni Angkatan Darat (dengan tokohnya Nasution), partai yang disokong oleh militer (IPKI), dan partai-partai (berhaluan non-islam) yang ada dalam parlemen dan badan konstituante. Selain itu ada juga peran pembantu yang dilakonkan oleh PM Djuanda.

Hampir bisa dikatakan Presiden Soekarno terkesan pasif. Karena selama terjadi dead-lock di konstituante. Dan selama ia masih di luar negeri, Kasad Jendral Nasution sebagai pemegang kekuasaan pusat hukum darurat, telah mengeluarkan maklumat yang melarang semua kegiatan politik dan menangguhkan semua rapat-rapat konstituante, sampai Soekarno pulang dari luar negeri, maklumat darurat ini  disetujui oleh PM Djuanda tanpa rapat kabinet (Nasution: 1995).

Usaha yang paling penting dari pengkondisian bubarnya konstituante ini adalah mosi pembubaran konstituante yang diajukan oleh IPKI dalam sidang konstituante yang terakhir, serta usulan dekrit presiden yang diajukan oleh BKSPM (Badan Kerja Sama Pemuda dan Militer) dan kawat Jenderal Sungkono (Anggota terkemuka dari Persatuan Veteran 45) kepada Presiden Soekarno (ibid). 

IPKI dengan 18 partai radikal kecil juga kemudian menyatakan bahwa mereka tidak akan datang ke dalam sidang konsitituante lagi. Begitu juga PNI dan PKI yang menyatakan hanya akan datang ke sidang konstituante di Bandung dalam rangka pembubaran konstiutante.  

Peluang pembubaran DPR
Pembubaran parlemen secara teoritis maupun dalam praktek di Indonesia ternyata hanya terjadi dalam sistem pemerintahan parlementer. Dan sepertinya tidak masuk akal dilakukan secara konstitusional dalam sistem presidensil. 

Penting untuk dicermati bahwa kondisi politik maupun sistem ketatanegaraan Indonesia sangat berbeda dengan tahun 1959. Sehingga apabila Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tetap berkeras untuk mengeluarkan Dekrit dengan mengacu pada Dekrit 1959, tindakan itu tidak akan dapat dibenarkan secara legal maupun secara politis.

Secara legal, tidak ada wewenang apapun yang dimiliki oleh presiden untuk melakukan hal tersebut. Berbeda dengan UUDS 1950, UUD 1945 menyatakan bahwa hubungan DPR dan presiden adalah sejajar. Sementara undang-undang keadaan bahaya yang sempat diduga akan menjadi dasar hukum bagi tindakan ini juga ternyata tidak memberikan kewenangan kepada presiden untuk membubarkan DPR. 

Sedangkan secara politis, harus terlebih dahulu diciptakan kondisi politik yang kemudian dapat melegitimasi tindakan tersebut. Tanpa adanya kondisi yang dapat melegitimasinya, maka sejarah akan mencatat tindakan itu sebagai tindakan inkonstitusional dari seorang diktator daripada suatu revolusi. Kondisi politik yang dapat melegitimasi tindakan itu adalah adanya keadaan darurat yang memaksa presiden untuk membubarkan DPR. Untuk itu, jelas dibutuhkan dukungan dari militer.

Reaksi langsung yang dapat dimunculkan oleh DPR adalah dengan melakukan pembangkangan, yang kemudian dapat berujung pada pengiriman memorandum kepada MPR untuk melaksanakan Sidang Istimewa (SI) guna menjatuhkan presiden dengan alasan melanggar konstitusi. Walaupun untuk sampai pada SI dibutuhkan waktu setidaknya empat bulan sejak dikirimkannya memorandum pertama,  implikasi politik yang ditimbulkannya akan cukup kuat untuk membalikkan kedudukan antara MPR dan Presiden. 

Namun terhadap tindakan pembangkangan MPR ini, ada cara yang umum (berlaku di dunia ketiga) untuk mencegahnya, yaitu dengan penghentian secara militeristik segala aktivitas resmi parlemen dan mungkin juga aktivitas politik pada umumnya. Menurut para ahli tata negara, ini berarti suatu tindakan coup d'etat.

Hal yang paling mungkin dilakukan secara konstitusional adalah pembubaran DPR oleh para anggota DPR. Namun untuk sampai pada hal ini, perlu ada penggembosan di kalangan DPR sendiri untuk selanjutnya menyatakan mosi pembubaran DPR. Cara yang tidak umum terjadi dalam sistem presidensil, tapi juga tidak ada larangan yang menghambatnya secara konstitusional. 

 Selama masih ada kalangan anggota DPR yang tidak menyetujui pembubaran ini, maka DPR tidak dapat bubar secara institusional. Namun setelah ini, fungsi DPR tidak akan berjalan sebagaimana seharusnya, yang akhirnya akan menyebabkan DPR akan kehilangan legitimasi. Kemacetan politik yang dihasilkan akan mengarah pula pada kondisi yang memungkinkan presiden membubarkan DPR. Akibat sampingannya, konflik antara presiden dan DPR telah berhasil dipindahkan menjadi konflik internal DPR.

Apabila hal ini yang terjadi, maka akan terjadi konflik politik yang berkepanjangan. Dan karenanya, akan berujung pula pada nasib seluruh bangsa ini. Oleh karena itu, meski langkah ini memang  tidak mudah karena membutuhkan kekuatan politik yang besar, segala upaya politik yang menuju ke arah itu perlu dicermati.

Akhir dari seluruh uraian di atas, mungkin prinsip dasar demokrasi yang klasik perlu kembali diingat dalam hal ini. Keputusan akhir (harus) ada di tangan rakyat. Bukan hanya pemimpin dan wakil rakyat, bukan cuma rakyat yang terdidik dan terorganisir, melainkan rakyat Indonesia secara keseluruhan.
Rival G. Ahmad dan Bivitri Susanti  adalah peneliti pada Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK).

Sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol1816/pembubaran-dpr-secara-konstitusional

Posted By OBSERVER INDONESIA10.18

Presiden Jokowi Tegaskan Perppu Pilkada Tak Bisa Ditawar Lagi

Filled under:

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie memerintahkan kadernya di DPR untuk menolak Perppu Pilkada Langsung yang diteken SBY saat menjabat Presiden RI. Bukan hanya SBY yang kecewa, Presiden Jokowi pun ikut menyatakan sikap.

Melalui fanpage Facebook-nya, Presiden Jokowi menyatakan akan menjalin komunikasi politik yang lebih intensif dengan Parlemen (DPR-RI) untuk saling menyetujui kesepakatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.

"Pada prinsipnya Pilkada langsung tidak bisa ditawar-tawar lagi, ini adalah buah paling manis dalam demokrasi kita," kata Jokowi, dikutip Liputan6.com, Jumat (5/12/2014).

Bila Pilkada Langsung dibredel kemudian digantikan Pilkada Tidak Langsung, sambung Jokowi, maka rakyat seakan-akan diikat untuk menonton panggung politik, dimana rakyat diasingkan dari hak-haknya berdemokrasi.

"Dengan pilkada langsung, pelan-pelan akan kita dapatkan pemimpin yang secara organik tumbuh di dalam masyarakat dan paham atas situasi-situasi yang berkembang di tengah masyarakat," ujar Jokowi.

Sebelumnya, saat penyampaian tanggapan dari DPP Partai Golkar atas pandangan umum Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) tiap DPD tingkat I dan II Golkar di Hotel Westin, Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali, Selasa 2 Desember malam, Ical meminta agar Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Pilkada dan Pemda yang dikeluarkan SBY ditolak.

"Saya dengar, Perppu itu digugat, bukan materi tapi mengenai cara untuk melaksanakan Perppu itu. Kata Mahfud, kalau Perppu itu dibatalkan, harus dibuat UU baru dan kemudian UU pilkada itu berlaku kembali. Kalau itu nggak berhasil, itu akan kita perjuangkan setelah DPR reses. Sesuai usulan saudara sekalian, kita bisa menolak Perppu itu," papar Ical.

Ketua Umum Partai Demokrat SBY pun merasa dikhianati Partai Golkar. Padahal, ada kesepakatan yang ditandatangi Ical agar Partai Golkar mendukung Perppu tersebut di DPR.

"Kini, secara sepihak Partai Golkar menolak Perppu, berarti mengingkari kesepakatan yang telah dibuat. Bagi saya hal begini amat prinsip," tegas SBY dalam akun twitternya, @SBYudhoyono, Jumat (5/12/2014).

Agar Perppu Pilkada yang diterbitkannya saat menjabat Presiden RI itu disahkan, SBY pun memerintahkan Fraksi Demokrat DPR untuk mendekati Fraksi PDIP.

Posted By OBSERVER INDONESIA09.51

Followers