Begitu
seringnya pernyataan-pernyataan kontroversial dikeluarkan oleh elite
politik, hingga berita ini sudah tidak lagi mengejutkan. Namun demikian,
fenomena ini perlu untuk ditelaah dari segi hukum untuk dapat
menelusuri peluang hukum yang ada dalam spekulasi tersebut.
Wewenang pembubaran parlemen
Secara
teoritis, dalam sistem presidensil, presiden tidak memiliki kewenangan
untuk membubarkan parlemen, begitu pula sebaliknya. Kekuatan utama dalam
konsep sistem presidensil memang terletak pada prinsip pokok tersebut,
terciptanya keseimbangan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif.
Berbeda
dengan yang terjadi dalam sistem parlementer dan sistem
semi-parlementer di negara-negara non-monarki, presiden sebagai kepala
negara (head of state) biasanya memiliki kewenangan untuk
membubarkan parlemen dengan beberapa variasi prasyarat kondisi dan
mekanisme prosedural. Pengaturan tersebut ditujukan untuk mengimbangi
kekuasaan parlemen yang memiliki kewenangan untuk menjatuhkan kabinet,
baik terhadap tiap anggota kabinet ataupun keseluruhan kabinet.
Prasyarat
kondisi yang biasanya ditentukan dalam konsitusi adalah terjadinya
kemacetan/kebuntuan politik antara eksekutif (kabinet) dan legislatif
(parlemen). Gambaran sederhana di beberapa negara bila hal tersebut
terjadi adalah, Perdana Menteri sebagai pimpinan kabinet, mengajukan
permohonan kepada Presiden untuk membubarkan parlemen dan mengadakan
pemilihan umum ulang bagi anggota parlemen.
Bila
permohonan itu disetujui dan disahkan oleh Presiden, maka secara resmi
anggota parlemen akan melepaskan jabatannya. Dan dalam waktu yang
ditentukan, akan ada pemilihan ulang untuk memilih anggota parlemen yang
baru. Administrasi pemerintahan rutin dan penyelenggaraan pemilu
biasanya akan dipegang oleh kabinet demisioner sampai dengan parlemen
baru terbentuk dan berhasil memilih perdana menteri dan kabinet yang
baru. Prinsip yang dijunjung adalah keputusan akhir tetap ada di tangan
rakyat.
Tiga
model sistem pemerintahan yang utama, yakni presidensil, parlementer,
dan semi-parlementer, dengan segala variannya merupakan konstruksi
pengalaman sejarah politik yang panjang dari masing-masing negara
demokrasi modern yang menganutnya. Walapun sebagian besar negara modern
tetap mengacu pada model-model utama yang ada di negara penemunya,
hampir bisa dipastikan tiap negara memiliki karakterisitk khas sesuai
dengan sejarah dan dinamika sosial-ekonomi-politik dan budayanya
masing-masing.
Namun
demikian, masing-masing sistem memiliki latar belakang pemikiran dan
orientasi politiknya yang secara prinsipil berlainan. Perbedaan ini pada
gilirannya akan melahirkan kerangka sistem pemerintahan tertentu, yang
diharapkan dapat menjamin seoptimal mungkin orientasi politik yang sudah
ditetapkan. Jadi, sebuah model sistem pemerintahan tidak serta merta
dapat dimodifikasi sesuai kepentingan politik jangka pendek, karena ia
dibangun dalam satu kerangka yang utuh dan konsisten.
Dekrit Presiden di Indonesia
Secara
tidak langsung spekulasi mengenai pembubaran DPR munujuk pada sejarah
Dekrit Presiden Soekarno yang membubarkan konstituante. Apa referensi
tersebut tepat?
Pada
5 Juli 1959 Presiden Soekarno, sebagai kepala negara, mengeluarkan
Dekrit Presiden yang bertujuan menyelesaikan kebuntuan dalam merumuskan
undang-undang dasar. Pernyataan utama dari Dekrit adalah dibubarkanya
Badan Konstituante hasil Pemilihan Umum Desember 1955, kembalinya
konstitusi kepada UUD 1945, penarikan UUD 1950, dan dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya, mendirikan lembaga-lembaga kenegaraan sesuai
dengan UUD 1945. Saat itu pula, berakhirlah masa kerja Badan
Konstituante dan sekaligus pula sistem pemerintahan parlementer.
Selama
masa Orde Baru, sejarah lebih sering mengedepankan catatan mengenai apa
yang disebut dengan kegagalan konstituante daripada dinamika politik di
belakangnya. Terhadap hal ini, Yusril Ihza Mahendra menyatakan
(terlepas hal itu otoriter atau demokratis-Pen.) bahwa tindakan Soekarno
tersebut merupakan revolusi hukum yang secara politik berhasil dipertahankan olehnya (Kompas: 31 Januari 01).
Yang
perlu dicermati dalam kasus ini adalah sistem pemerintahan pada saat
itu yang memang berbeda dengan sistem pemerintahan yang dianut sekarang.
Walaupun tidak secara langsung memberikan wewenang tertentu kepada
presiden, UUDS 1950 mengatur suatu sistem pemerintahan parlementer yang
menyebabkan presiden memiliki tempat yang sangat berbeda dalam struktur
politik dan ketatanegaraan dengan yang berlaku saat ini.
Bila
ditilik secara rinci dalam dinamika politik yang berkembang pada masa
itu, ada beberapa pertanyaan yang menarik untuk diangkat, yakni
aktor/lembaga mana yang berinsiatif, dan prosedur hukum apa yang
dilakukan?
Inisiatif
utama dari Dekrit ini sepertinya tidak hanya berasal dari Presiden
Soekarno (yang dalam masa genting ini sebenarnya sedang berada di
Jepang), walaupun sangat mungkin diinspirasikan oleh beberapa pidato
Soekarno untuk membubarkan parlemen pada tahun 1956. Dalam catatan
sejarah, yang paling menonjol mengambil inisiatif ini ada tiga kelompok,
yakni Angkatan Darat (dengan tokohnya Nasution), partai yang disokong
oleh militer (IPKI), dan partai-partai (berhaluan non-islam) yang ada
dalam parlemen dan badan konstituante. Selain itu ada juga peran
pembantu yang dilakonkan oleh PM Djuanda.
Hampir bisa dikatakan Presiden Soekarno terkesan pasif. Karena selama terjadi dead-lock
di konstituante. Dan selama ia masih di luar negeri, Kasad Jendral
Nasution sebagai pemegang kekuasaan pusat hukum darurat, telah
mengeluarkan maklumat yang melarang semua kegiatan politik dan
menangguhkan semua rapat-rapat konstituante, sampai Soekarno pulang dari
luar negeri, maklumat darurat ini disetujui oleh PM Djuanda tanpa rapat kabinet (Nasution: 1995).
Usaha
yang paling penting dari pengkondisian bubarnya konstituante ini adalah
mosi pembubaran konstituante yang diajukan oleh IPKI dalam sidang
konstituante yang terakhir, serta usulan dekrit presiden yang diajukan
oleh BKSPM (Badan Kerja Sama Pemuda dan Militer) dan kawat Jenderal
Sungkono (Anggota terkemuka dari Persatuan Veteran 45) kepada Presiden
Soekarno (ibid).
IPKI
dengan 18 partai radikal kecil juga kemudian menyatakan bahwa mereka
tidak akan datang ke dalam sidang konsitituante lagi. Begitu juga PNI
dan PKI yang menyatakan hanya akan datang ke sidang konstituante di
Bandung dalam rangka pembubaran konstiutante.
Peluang pembubaran DPR
Pembubaran
parlemen secara teoritis maupun dalam praktek di Indonesia ternyata
hanya terjadi dalam sistem pemerintahan parlementer. Dan sepertinya
tidak masuk akal dilakukan secara konstitusional dalam sistem
presidensil.
Penting
untuk dicermati bahwa kondisi politik maupun sistem ketatanegaraan
Indonesia sangat berbeda dengan tahun 1959. Sehingga apabila Presiden
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tetap berkeras untuk mengeluarkan Dekrit
dengan mengacu pada Dekrit 1959, tindakan itu tidak akan dapat
dibenarkan secara legal maupun secara politis.
Secara
legal, tidak ada wewenang apapun yang dimiliki oleh presiden untuk
melakukan hal tersebut. Berbeda dengan UUDS 1950, UUD 1945 menyatakan
bahwa hubungan DPR dan presiden adalah sejajar. Sementara undang-undang
keadaan bahaya yang sempat diduga akan menjadi dasar hukum bagi tindakan
ini juga ternyata tidak memberikan kewenangan kepada presiden untuk
membubarkan DPR.
Sedangkan
secara politis, harus terlebih dahulu diciptakan kondisi politik yang
kemudian dapat melegitimasi tindakan tersebut. Tanpa adanya kondisi yang
dapat melegitimasinya, maka sejarah akan mencatat tindakan itu sebagai
tindakan inkonstitusional dari seorang diktator daripada suatu revolusi.
Kondisi politik yang dapat melegitimasi tindakan itu adalah adanya
keadaan darurat yang memaksa presiden untuk membubarkan DPR. Untuk itu,
jelas dibutuhkan dukungan dari militer.
Reaksi
langsung yang dapat dimunculkan oleh DPR adalah dengan melakukan
pembangkangan, yang kemudian dapat berujung pada pengiriman memorandum
kepada MPR untuk melaksanakan Sidang Istimewa (SI) guna menjatuhkan
presiden dengan alasan melanggar konstitusi. Walaupun untuk sampai pada
SI dibutuhkan waktu setidaknya empat bulan sejak dikirimkannya
memorandum pertama, implikasi politik yang ditimbulkannya akan cukup kuat untuk membalikkan kedudukan antara MPR dan Presiden.
Namun
terhadap tindakan pembangkangan MPR ini, ada cara yang umum (berlaku di
dunia ketiga) untuk mencegahnya, yaitu dengan penghentian secara
militeristik segala aktivitas resmi parlemen dan mungkin juga aktivitas
politik pada umumnya. Menurut para ahli tata negara, ini berarti suatu
tindakan coup d'etat.
Hal
yang paling mungkin dilakukan secara konstitusional adalah pembubaran
DPR oleh para anggota DPR. Namun untuk sampai pada hal ini, perlu ada
penggembosan di kalangan DPR sendiri untuk selanjutnya menyatakan mosi
pembubaran DPR. Cara yang tidak umum terjadi dalam sistem presidensil,
tapi juga tidak ada larangan yang menghambatnya secara konstitusional.
Selama
masih ada kalangan anggota DPR yang tidak menyetujui pembubaran ini,
maka DPR tidak dapat bubar secara institusional. Namun setelah ini,
fungsi DPR tidak akan berjalan sebagaimana seharusnya, yang akhirnya
akan menyebabkan DPR akan kehilangan legitimasi. Kemacetan politik yang
dihasilkan akan mengarah pula pada kondisi yang memungkinkan presiden
membubarkan DPR. Akibat sampingannya, konflik antara presiden dan DPR
telah berhasil dipindahkan menjadi konflik internal DPR.
Apabila
hal ini yang terjadi, maka akan terjadi konflik politik yang
berkepanjangan. Dan karenanya, akan berujung pula pada nasib seluruh
bangsa ini. Oleh karena itu, meski langkah ini memang tidak mudah karena membutuhkan kekuatan politik yang besar, segala upaya politik yang menuju ke arah itu perlu dicermati.
Akhir
dari seluruh uraian di atas, mungkin prinsip dasar demokrasi yang
klasik perlu kembali diingat dalam hal ini. Keputusan akhir (harus) ada
di tangan rakyat. Bukan hanya pemimpin dan wakil rakyat, bukan cuma
rakyat yang terdidik dan terorganisir, melainkan rakyat Indonesia secara
keseluruhan.
Rival G. Ahmad dan Bivitri Susanti adalah peneliti pada Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK).
Sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol1816/pembubaran-dpr-secara-konstitusional