KPK Diminta "On The Track"
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Observer Indonesia Aldrin Situmeang meminta KPK tetap berjalan di jalurnya dalam mengemban tugasnya.
Jangan sampai terjadi abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan di level pimpinan.
"KPK harus on the track atau berjalan pada jalurnya. Jangan terjadi abuse of power oleh pimpinan KPK," kata Aldrin kepada wartawan, Senin (13/10/2014).
Ketua Serikat Alumni Jerman ini mencontohkan beberapa kasus yang dinilainya sangat terindikasi abuse of power. Contohnya, kata dia, peristiwa penangkapan mantan anggota KPU (almarhum) Mulyana Kusuma yang dilakukan secara criminal by design atau mengkriminalisasi seseorang dengan melakukan penjebakan.
Dimana saat itu, kata dia Mulyana diundang anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Khariansyah untuk bertemu membawa sejumlah dana.
Kata Aldrin, setelah beberapa kali tidak berhasil bertemu, akhirnya pertemuan terjadi di Hotel Ibis Slipi. Saat itu Kariansyah sudah menunggu di sebuah kamar yang dilengkapi dengan berbagai macam alat penyadap elektronik, seperti kamera dan microphone.
"Pertanyaan pada peristiwa itu, kenapa yang disuap tidak ditahan? Kenapa KPK seolah melindungi yang disuap?" Tanya Aldrin.
Begitu juga dengan peristiwa penahanan tersangka dugaan suap Pilkada Tapanuli Tengah 2013 di Mahkamah Konstitusi (MK) yang menjerat Bupati Tapanuli Tengah Raja Bonaran Situmeang.
Aldrin menilai, proses hukum Bonaran dari penetapan status tersangka sampai proses penahanan berjalan sangat cepat. Berbeda denganan penanganan kasus Sutan Bhatoegana dan Jero Wacik, yang sampai sekarang belum juga dimasukkan ke dalam jeruji besi.
"Jadi KPK terkesan ingin mencari-cari kesalahan Bonaran," ujarnya.
Contoh itu kata Aldrin menunjukkan secara tak langsung bahwa selain melakukan tebang pilih, pimpinan KPK juga memiliki kepentingan-kepentingan tertentu. Apalagi, memang benar apa yang dikatakan Bonaran saat dia akan ditahan bahwa Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto merupakan Penasihat Hukum dari lawan Bonaran saat sidang sengketa Pilkada Tapteng di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Disisi lain, saudara BW juga salah satu pengacara dari lembaga LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) pada kasus korupsi skandal Bank Century. Kaitannya, KPK sampai saat ini tidak bisa menuntaskan kasus korupsi yang lebih besar dari kasus Bonaran, yakni skandal Bank Century," ujarnya.
"Ini menunjukkan bahwa KPK seakan bekerja melihat kepentingan golongan, dibanding kepentingan rakyat dalam penegakan hukum secara adil. Yang kami khawatirkan, dalam hal ini Observer Indonesia, kinerja KPK lebih pada mencari kesalahan orang. Contoh dalam kasus Tubagus Chaeri Wardana atau Wawan," sambung Aldrin.
Selain itu, lanjut Aldria, pada asus Tubagus Chaeri Wardhana. Ia menganalisa bahwa adik kandung Gubernur Banten non aktif Ratu Atut Chosiyah itu ditahan karena awalnya diduga memberi suap ke mantan Ketua MK, Akil Mochtar. Tapi setelah itu KPK terus mencari kesalahan-kesalahan Wawan, seperti pengadaan alat-alat kesehatan di Provinsi Banten. Begitu juga dengan kasus Anas Urbaningrum yang awalnya hanya kasus Hambalang lalu merembet ke kasus-kasus lain, seperti gratifikasi sejumlah proyek.
"Jadi jelas dalam kasus Bonaran, kemungkinan nanti karena tidak cukup data, KPK akan mencari kelemahan-kelemahan lain dari yang bersangkutan, yang bisa dikriminalisasikan atau dengan dijerat dengan UU Pencucian Uang," kata Aldrin.
"Padahal banyak kasus-kasus besar yang seharusnya segera diselesaikan KPK, seperti Bank Bali, Century, BLBI, atau mungkin juga kasus e-KTP yang nilai kerugian negaranya fantastis," lanjutnya.
Direktur Eksekutif Gowa Andi Syahputra juga menilai KPK belum berjalan dalam orbitnya. Hal itu bisa dilihat dari pelaku-pelaku korupsi lain yang pernah atau kerap disebut tersangka atau terdakwa kasus korupsi.
"Sampai saat ini KPK belum on the track karena ada beberapa terdakwa korupsi yang sudah divonis dan menyebut pelaku lain tapi masih berkeliaran, terutama mereka ini yang punya kaitan dengan parpol atau pemangku kekuasaan," kata Andi kepada wartawan, Senin (13/10/2014).
Andi mencontohkan kasus Hambalang, dimana dalam kasus itu mencuat nama Bendahara Umum DPP PDI Perjuangan Olly Dodokambey. Dia beberapa kali disebut menerima aliran dana terkait proyek Hambalang, tapi sampai saat ini belum ditetapkan sebagai tersangka. Padahal jelas, terdakwa Teuku Bagus Muhammad Noor menyebut Anggota Badan Anggaran DPR tersebut menerima duit sebanyak Rp 2,5 miliar.
"Olly, jelas itu dinyatakan dalam vonis bahwa dia menerima uang. Kemudian misalnya juga Jhoni Allen dan Ibas (Edhie Baskoro Yudhoyono). Sedangkan untuk Sutan Bhatoegana waktu dibilang terlibat KPK langsung jadikan dia tersangka," ujarnya.
Andi menduga, kalau KPK menjalankan tugasnya sesuai aspirasi masyarakaat terhadap semangat pemberantasan korupsi, maka orang-orang semacam Olly, Jhoni dan Ibas harusnya tak dibiarkan terlalu lama.
Untuk itu, tambah Andi, KPK harus memiliki pimpinan KPK yang benar-benar berkualitas dan berintegritas. KPK harus juga membuat uji publik terhadap calon-calon pimpinan yang ada sekarang ini.
"Uji publik jangan terbatas dalam lingkup pansel (panitia seleksi), karena pansel hanya uji kompetensi saja. Uji publik itu maksudnya publik ikut diminta oleh tim tersendiri memberikan masukan-masukan," kata Andi.
0 komentar:
Posting Komentar