Jangan Biarkan Penjahat HAM Jadi Pemimpin
Direktur Eksekutif Indonesia'S NGO Coalition for Internasional Human Rights Advocay (HRWG) Indonesia, Rafendi Djamin mengingatkan, adalah persoalan besar jika capres yang diduga terlibat pelaggaran HAM berat memenangkan pilpres mendatang.
“Negara akan disibukkan oleh sejumlah kegiatan internasional, hanya untuk meluruskan atau mengklarifikasi hal tersebut,” kata Rafendi kepada Observer Indonesia, Rabu (4/6).
Rafendi menyatakan, HRWG Indonesia merupakan koalisi yang fokus dalam advokasinya, wajib memastikan International Human Right Standard dilaksanakan dalam tingkat nasional, seperti menghapus diskriminasi rasial, kekerasan pada perempuan dan anak.
Di dalam konteks itulah, sambungnya, jika terjadi tindak pidana kejahatan HAM berat, seperti kejahatan kemanusiaan, agresi, genosida, adalah komitmen institusi HRWG Indonesia untuk memastikan bahwa pelaku harus bertanggung jawab terhadap perbuatannya tersebut.
“Prinsipnya, tidak ada tempat yang aman bagi pelaku kejahatan HAM berat, atau tidak ada tempat bagi pelaku untuk melarikan diri,” tegasnya.
Rafendi menjelaskan, dalam konstek sekarang, Indonesia telah memiliki Komnas HAM. Lembaga negara yang diberikan mandat, wewenang oleh undang-undang untuk menyelidiki pelanggaran HAM berat, Diketahui, seringkali seringkali terjadi kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia, baik yang sudah didokumentasikan, diinvestigasi oleh aparat penegak hukum Indonesia.
Saat ini, ada salah satu calon presiden yang akan bertarung untuk menduduki kursi RI-1, diduga terlibat dalam pelanggaran HAM berat kemanusiaan. “Ada peristiwa Mei, Trisakti, Wasior di Papua, yang semuanya masih belum mendapat proses keadilan,” ujar Rafendi.
Padahal, lanjutnya, ada tahapan kasus pelanggaran HAM berat yang proses penyelidikannya sudah lengkap dilakukan Komnas HAM.Termasuk memanggil Prabowo untuk dikonfirmasi terkait 13 aktivis reformasi yang hilang. Namun Prabowo tidak mau hadir. Meskipun Prabowo tidak mau hadir, proses hukumnya tidak berhenti.
Menurut Rafendi, Komnas HAM telah memberikan bukti-bukti adanya dugaan pelanggaran HAM Prabowo ke kejaksaan. Selanjutnya, kejaksaan menyatakan telah cukup bukti lalu menyerahkan ke DPR pada 2009. Kemudian, dibentuklah Pansus oleh DPR. Hasilnya usulan kepada presiden untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc.
“Dari fakta-fakta tersebut, kami menilai bahwa kejahatan HAM yang diduga dilakukan Prabowo terkait hilangnya 13 aktivis, sudah lengkap,” tegas Rafendi
Rafendi menyayangkan, setelah lima tahun berlalu, pengadilan HAM ad hoc belum juga terbentuk. Padahal, lanjut Rafendi, kalau sudah terbentuk, maka tersangka dan saksi-saksinya sudah bisa disidangkan. Termasuk akan melibatkan Prabowo sebagai saksi, dan Safri Samsudin juga akan dipanggil menjadi saksi. Ini yang menjadi kendala, karena presiden belum membentuk pengadilan HAM ad hoc.
Rafendi melanjutkan, jika pada saat itu pengadilan HAM ad hoc terbentuk, tentunya bisa menguntungkan Prabowo, apalagi dia berambisi jadi presiden.
“Dia bisa mengklarifikasi. Tapi hingga sekarang belum juga terbentuk pengadilan HAM ad hoc. Akibatnya banyak pihak yang mempertanyakan tentang pelanggaran HAM tersebut kepada Prabowo,” sebut Rafendi.
Prabowo memang pernah melontarkan keinginan klarifikasi tentang HAM tersebut. Tetapi salah alamat, bukannya ke Komnas HAM atau Kejaksaan Agung, tetapi malah ke Pepabri yang merupakan pensiunan dari anggota TNI.
“Harusnya Prabowo melakukan klarifikasi ke komnas HAM. Tetapi ini tidak dilakukan. Ini yang membuat kami selaku organisasi HAM memunyai problem yang sangat besar, seorang calon presiden yang akan memegang jabatan publik. Padahal jabatan camat saja bisa kami pertanyakan apalagi jabatan publik presiden, mewakili seluruh rakyat Indonesia,” kata Rafendi.
Rafendi mengaku khawatir Prabowo nantinya menghapus keberadaan Komnas HAM jika terpilih menjadi presiden.
"Jadi menurut kami, Prabowo belum layak untuk mencalonkan dirinya sebagai presiden," ujarnya.
Rafendi menyayangkan seorang capres cukup menyertakan surat kelakuan baik dari kepolisian sebagai syarat tidak terlibat perbuatan tercela dan korupsi.
"Saya kembali mengingatkan, kalau Prabowo terpilih jadi presiden, dia bisa seperti Presiden Kenya, yang terlibat pelanggaran HAM sebelum jadi presiden, namun akan terus dimintai klarifikasi terkait kasus HAM tersebut. Tentunya ini akan meropotkan,” tandasnya. (ren)
Direktur Eksekutif Indonesia'S NGO Coalition for Internasional Human Rights Advocay (HRWG) Indonesia, Rafendi Djamin mengingatkan, adalah persoalan besar jika capres yang diduga terlibat pelaggaran HAM berat memenangkan pilpres mendatang.
“Negara akan disibukkan oleh sejumlah kegiatan internasional, hanya untuk meluruskan atau mengklarifikasi hal tersebut,” kata Rafendi kepada Observer Indonesia, Rabu (4/6).
Rafendi menyatakan, HRWG Indonesia merupakan koalisi yang fokus dalam advokasinya, wajib memastikan International Human Right Standard dilaksanakan dalam tingkat nasional, seperti menghapus diskriminasi rasial, kekerasan pada perempuan dan anak.
Di dalam konteks itulah, sambungnya, jika terjadi tindak pidana kejahatan HAM berat, seperti kejahatan kemanusiaan, agresi, genosida, adalah komitmen institusi HRWG Indonesia untuk memastikan bahwa pelaku harus bertanggung jawab terhadap perbuatannya tersebut.
“Prinsipnya, tidak ada tempat yang aman bagi pelaku kejahatan HAM berat, atau tidak ada tempat bagi pelaku untuk melarikan diri,” tegasnya.
Rafendi menjelaskan, dalam konstek sekarang, Indonesia telah memiliki Komnas HAM. Lembaga negara yang diberikan mandat, wewenang oleh undang-undang untuk menyelidiki pelanggaran HAM berat, Diketahui, seringkali seringkali terjadi kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia, baik yang sudah didokumentasikan, diinvestigasi oleh aparat penegak hukum Indonesia.
Saat ini, ada salah satu calon presiden yang akan bertarung untuk menduduki kursi RI-1, diduga terlibat dalam pelanggaran HAM berat kemanusiaan. “Ada peristiwa Mei, Trisakti, Wasior di Papua, yang semuanya masih belum mendapat proses keadilan,” ujar Rafendi.
Padahal, lanjutnya, ada tahapan kasus pelanggaran HAM berat yang proses penyelidikannya sudah lengkap dilakukan Komnas HAM.Termasuk memanggil Prabowo untuk dikonfirmasi terkait 13 aktivis reformasi yang hilang. Namun Prabowo tidak mau hadir. Meskipun Prabowo tidak mau hadir, proses hukumnya tidak berhenti.
Menurut Rafendi, Komnas HAM telah memberikan bukti-bukti adanya dugaan pelanggaran HAM Prabowo ke kejaksaan. Selanjutnya, kejaksaan menyatakan telah cukup bukti lalu menyerahkan ke DPR pada 2009. Kemudian, dibentuklah Pansus oleh DPR. Hasilnya usulan kepada presiden untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc.
“Dari fakta-fakta tersebut, kami menilai bahwa kejahatan HAM yang diduga dilakukan Prabowo terkait hilangnya 13 aktivis, sudah lengkap,” tegas Rafendi
Rafendi menyayangkan, setelah lima tahun berlalu, pengadilan HAM ad hoc belum juga terbentuk. Padahal, lanjut Rafendi, kalau sudah terbentuk, maka tersangka dan saksi-saksinya sudah bisa disidangkan. Termasuk akan melibatkan Prabowo sebagai saksi, dan Safri Samsudin juga akan dipanggil menjadi saksi. Ini yang menjadi kendala, karena presiden belum membentuk pengadilan HAM ad hoc.
Rafendi melanjutkan, jika pada saat itu pengadilan HAM ad hoc terbentuk, tentunya bisa menguntungkan Prabowo, apalagi dia berambisi jadi presiden.
“Dia bisa mengklarifikasi. Tapi hingga sekarang belum juga terbentuk pengadilan HAM ad hoc. Akibatnya banyak pihak yang mempertanyakan tentang pelanggaran HAM tersebut kepada Prabowo,” sebut Rafendi.
Prabowo memang pernah melontarkan keinginan klarifikasi tentang HAM tersebut. Tetapi salah alamat, bukannya ke Komnas HAM atau Kejaksaan Agung, tetapi malah ke Pepabri yang merupakan pensiunan dari anggota TNI.
“Harusnya Prabowo melakukan klarifikasi ke komnas HAM. Tetapi ini tidak dilakukan. Ini yang membuat kami selaku organisasi HAM memunyai problem yang sangat besar, seorang calon presiden yang akan memegang jabatan publik. Padahal jabatan camat saja bisa kami pertanyakan apalagi jabatan publik presiden, mewakili seluruh rakyat Indonesia,” kata Rafendi.
Rafendi mengaku khawatir Prabowo nantinya menghapus keberadaan Komnas HAM jika terpilih menjadi presiden.
"Jadi menurut kami, Prabowo belum layak untuk mencalonkan dirinya sebagai presiden," ujarnya.
Rafendi menyayangkan seorang capres cukup menyertakan surat kelakuan baik dari kepolisian sebagai syarat tidak terlibat perbuatan tercela dan korupsi.
"Saya kembali mengingatkan, kalau Prabowo terpilih jadi presiden, dia bisa seperti Presiden Kenya, yang terlibat pelanggaran HAM sebelum jadi presiden, namun akan terus dimintai klarifikasi terkait kasus HAM tersebut. Tentunya ini akan meropotkan,” tandasnya. (ren)
0 komentar:
Posting Komentar