Sabtu, 04 Oktober 2014

Selamat Datang Century Jilid 2

Filled under:


http://kabarnet.files.wordpress.com/2009/11/century55.jpg

Selamat Datang Century Jilid 2
“Lebih dari 10 Bank Tak Sehat”. Judul berita di harian Kompas tanggal 21 Juli 2012 menyentak perhatian penulis. Pernyataan Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution yang menyatakan, bahwa Bank Indonesia mendorong konsolidasi terhadap bank-bank yang tidak Menarik sekali pernyataan Gubernur BI atas hal ini. Mengapa? Karena masih segar dalam ingatan masyarakat Indonesia terhadap kasus Bank Mutiara (d/h. Bank Century).

Sejarah berdirinya Bank Century (BC) diawali dengan adanya merger Bank Century Intervest Corporation (Bank CIC) dengan Bank Pikko dan Bank Danpac pada 6 Desember tahun 2004.

Salah satu tujuan Bank Indonesia dalam menjalankan fungsi pengawasan bank

adalah untuk mewujudkan sistem perbankan yang sehat, agar dapat berperan sebagai sarana

transmisi kebijakan dalam menjaga kestabilan harga.

Dalam kaitan ini apabila bank mengalami kesulitan yang membahayakan

kelangsungan usahanya, maka sesuai Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun

1992 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan,

maka Bank Indonesia (BI) mengambil langkah-langkah penyelamatan antara lain melalui

penambahan modal, penggabungan usaha (merger) dan menjual bank kepada pihak lain

(melalui proses akuisisi).

Dalam kasus merger BC, untuk mempermudah implementasi dari Pasal 37 ayat (1)

UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998, Bank

Indonesia telah memiliki beberapa kebijakan, seperti pertama, Surat Keputusan (SK) Direksi

BI No 32/51/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 tentang Persyaratan dan Tata Cara Merger,

Konsolidasi, dan Akuisisi Bank Umum; kedua SK Direksi BI No 31/147/KEP/DIR tanggal

12 November 1998 tentang Kualitas Aktiva Produktif; dan ketiga Peraturan Bank Indonesia

(PBI) No 2/l/PBI/2000 tanggal 14 Januari 2000 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan

(fit and propper test) sebagaimana terakhir diubah dengan PBI No 5/25/PBI/2003 tanggal 10

Namun semua kebijakan dan peraturan di atas, menjadi tidak berdaya karena BI tidak

menerapkan secara konsisten di lapangan, khususnya saat menangani kasus merger ke-3 bank

di atas. Contoh persyaratan administratif mengenai laporan keuangan harus 3 (tiga) tahun,

tapi hanya dipenuhi 2 (dua) tahun dapat diterima oleh BI. Hal lainnya, Pemegang Saham

Pengendali (PSP) Chinkara yaitu RAR ternyata tidak lulus fit and proper test, namun BI tetap

menyetujui proses merger. Dan semua ini atas nama penyelamatan Bank.

Di sisi lainnya, kondisi Bank CIC dan Bank Pikko (sebelum merger) sudah memiliki

masalah seperti: Surat-Surat Berharga (SSB) yang memiliki risiko tinggi, likuiditas

dan permodalan. Proses penggabungan (merger) ini ternyata hanya mampu bertahan

sesaat. Potensi permasalahan sebenarnya, khususnya pasca merger luput dari perhatian

dan pengawasan BI. Dan semua permasalahan ini ‘meletus’ pada 30 Oktober 2008, BC

mengajukan permohonan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) kepada BI. Dan sejak

saat inilah, peranan BI sebagai pengawas Bank diuji.

Seharusnya dengan semua Undang-Undang, kebijakan dan peraturan yang ada, BI

dapat mencabut izin usaha BC sebagaimana tertulis dalam Pasal 37 ayat (2) UU Perbankan

No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998. Pencabutan

izin usaha (penutupan bank) merupakan alternatif terakhir yang hanya akan dilakukan apabila

solusi penyelamatan tidak berhasil.

Dan sejarah mencatat bahwa BI akhirnya memutuskan untuk menyelamatkan BC.

Tujuan penyelamatan ini agar BC tidak menjadi bank yang gagal (Kompas tanggal 6 Juli

2012, lihat: Pesan Boediono untuk Siapa?). Dan ironisnya, Bank Indonesia menilai bahwa

alasan penyelamatan BC ini adalah karena amanat Undang-Undang!

Langkah awal penyelamatan BC adalah dengan mengubah semua kebijakan yang

terkait penyelamatan suatu Bank. Dan pada akhirnya penyelamatan ini berujung dengan

dikeluarkannya bailout Rp 6,7 triliun. Selesaikah kasus BC ini ? Jawabnya: tidak.

Sesuai dengan Pasal 38 Undang-Undang No. 24 tahun 2004 tentang Lembaga

Penjamin Simpanan (LPS), maka dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah penyerahan

ke LPS, maka LPS harus menjual seluruh saham BC (sekarang Bank Mutiara). Dengan

kata lain, sejak BC diserahkan ke LPS tahun 2008, maka batas akhir 5 (lima) tahun tersebut

adalah tahun 2013. Kita tunggu hasilnya, apakah LPS mampu menjual seluruh saham BC dan

mengembalikan dana bailout Rp 6,7 triliun, ataukah tidak.

Lalu apa hubungannya dengan pernyataan Gubernur BI bahwa ada lebih dari 10 Bank

yang tak sehat di atas? Melihat mekanisme penyelamatan BC oleh otoritas Bank Sentral,

maka tidak tertutup kemungkinan cara serupa juga akan dilakukan oleh BI terhadap lebih dari

10 Bank tak sehat ini.

Dan mengingat tahun 2014, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan

kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia ke OJK, maka hal

yang perlu diperhatikan adalah proses pengawasan Bank yang dilakukan oleh BI dari tahun

2012 – 2013 sebelum diserahkan ke OJK: sampai dimana proses pengawasan terhadap lebih

dari 10 Bank tak sehat ini dan tindakan-tindakan apa saja yang telah dilakukan BI.

Apabila dilihat dari waktu kejadiannya, maka kondisi BC dan lebih dari 10 Bank tak

sehat ini memiliki kesamaan. Kasus BC diawali dari proses merger 3 (tiga) bank yang tak

sehat dan Bank hasil merger (BC) ini ‘meledak’ pada tahun 2008, yaitu menjelang Pemilihan

Saat ini, sudah ada lebih dari 10 bank yang tak sehat dan oleh BI, Bank-bank ini

didorong untuk merger atau konsolidasi. Apakah lebih dari 10 bank ini akan ber-konsolidasi

sesuai saran BI? Jika muncul Bank hasil konsolidasi, maka semoga pada tahun 2013, Bank

hasil konsolidasi ini tidak meledak. Karena jika meledak, maka kondisi ini juga terjadi

menjelang pemilu, yaitu pemilu 2014. Apakah ini suatu kebetulan ? Jika ini terjadi, maka kita

hanya bisa mengucapkan: “Selamat Datang Century Jilid 2”. We’ll see.

Franky Ariyadi

Observer Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar

Followers