Selamat Datang Century Jilid 2
“Lebih dari 10 Bank Tak Sehat”. Judul berita di harian Kompas tanggal 21 Juli 2012 menyentak perhatian penulis. Pernyataan Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution yang menyatakan, bahwa Bank Indonesia mendorong konsolidasi terhadap bank-bank yang tidak Menarik sekali pernyataan Gubernur BI atas hal ini. Mengapa? Karena masih segar dalam ingatan masyarakat Indonesia terhadap kasus Bank Mutiara (d/h. Bank Century).
Sejarah berdirinya Bank Century (BC) diawali dengan adanya merger Bank Century Intervest Corporation (Bank CIC) dengan Bank Pikko dan Bank Danpac pada 6 Desember tahun 2004.
Salah satu tujuan Bank Indonesia dalam menjalankan fungsi pengawasan bank
adalah untuk mewujudkan sistem perbankan yang sehat, agar dapat berperan sebagai sarana
transmisi kebijakan dalam menjaga kestabilan harga.
Dalam kaitan ini apabila bank mengalami kesulitan yang membahayakan
kelangsungan usahanya, maka sesuai Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun
1992 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan,
maka Bank Indonesia (BI) mengambil langkah-langkah penyelamatan antara lain melalui
penambahan modal, penggabungan usaha (merger) dan menjual bank kepada pihak lain
(melalui proses akuisisi).
Dalam kasus merger BC, untuk mempermudah implementasi dari Pasal 37 ayat (1)
UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998, Bank
Indonesia telah memiliki beberapa kebijakan, seperti pertama, Surat Keputusan (SK) Direksi
BI No 32/51/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 tentang Persyaratan dan Tata Cara Merger,
Konsolidasi, dan Akuisisi Bank Umum; kedua SK Direksi BI No 31/147/KEP/DIR tanggal
12 November 1998 tentang Kualitas Aktiva Produktif; dan ketiga Peraturan Bank Indonesia
(PBI) No 2/l/PBI/2000 tanggal 14 Januari 2000 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan
(fit and propper test) sebagaimana terakhir diubah dengan PBI No 5/25/PBI/2003 tanggal 10
Namun semua kebijakan dan peraturan di atas, menjadi tidak berdaya karena BI tidak
menerapkan secara konsisten di lapangan, khususnya saat menangani kasus merger ke-3 bank
di atas. Contoh persyaratan administratif mengenai laporan keuangan harus 3 (tiga) tahun,
tapi hanya dipenuhi 2 (dua) tahun dapat diterima oleh BI. Hal lainnya, Pemegang Saham
Pengendali (PSP) Chinkara yaitu RAR ternyata tidak lulus fit and proper test, namun BI tetap
menyetujui proses merger. Dan semua ini atas nama penyelamatan Bank.
Di sisi lainnya, kondisi Bank CIC dan Bank Pikko (sebelum merger) sudah memiliki
masalah seperti: Surat-Surat Berharga (SSB) yang memiliki risiko tinggi, likuiditas
dan permodalan. Proses penggabungan (merger) ini ternyata hanya mampu bertahan
sesaat. Potensi permasalahan sebenarnya, khususnya pasca merger luput dari perhatian
dan pengawasan BI. Dan semua permasalahan ini ‘meletus’ pada 30 Oktober 2008, BC
mengajukan permohonan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) kepada BI. Dan sejak
saat inilah, peranan BI sebagai pengawas Bank diuji.
Seharusnya dengan semua Undang-Undang, kebijakan dan peraturan yang ada, BI
dapat mencabut izin usaha BC sebagaimana tertulis dalam Pasal 37 ayat (2) UU Perbankan
No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998. Pencabutan
izin usaha (penutupan bank) merupakan alternatif terakhir yang hanya akan dilakukan apabila
solusi penyelamatan tidak berhasil.
Dan sejarah mencatat bahwa BI akhirnya memutuskan untuk menyelamatkan BC.
Tujuan penyelamatan ini agar BC tidak menjadi bank yang gagal (Kompas tanggal 6 Juli
2012, lihat: Pesan Boediono untuk Siapa?). Dan ironisnya, Bank Indonesia menilai bahwa
alasan penyelamatan BC ini adalah karena amanat Undang-Undang!
Langkah awal penyelamatan BC adalah dengan mengubah semua kebijakan yang
terkait penyelamatan suatu Bank. Dan pada akhirnya penyelamatan ini berujung dengan
dikeluarkannya bailout Rp 6,7 triliun. Selesaikah kasus BC ini ? Jawabnya: tidak.
Sesuai dengan Pasal 38 Undang-Undang No. 24 tahun 2004 tentang Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS), maka dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah penyerahan
ke LPS, maka LPS harus menjual seluruh saham BC (sekarang Bank Mutiara). Dengan
kata lain, sejak BC diserahkan ke LPS tahun 2008, maka batas akhir 5 (lima) tahun tersebut
adalah tahun 2013. Kita tunggu hasilnya, apakah LPS mampu menjual seluruh saham BC dan
mengembalikan dana bailout Rp 6,7 triliun, ataukah tidak.
Lalu apa hubungannya dengan pernyataan Gubernur BI bahwa ada lebih dari 10 Bank
yang tak sehat di atas? Melihat mekanisme penyelamatan BC oleh otoritas Bank Sentral,
maka tidak tertutup kemungkinan cara serupa juga akan dilakukan oleh BI terhadap lebih dari
10 Bank tak sehat ini.
Dan mengingat tahun 2014, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan
kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia ke OJK, maka hal
yang perlu diperhatikan adalah proses pengawasan Bank yang dilakukan oleh BI dari tahun
2012 – 2013 sebelum diserahkan ke OJK: sampai dimana proses pengawasan terhadap lebih
dari 10 Bank tak sehat ini dan tindakan-tindakan apa saja yang telah dilakukan BI.
Apabila dilihat dari waktu kejadiannya, maka kondisi BC dan lebih dari 10 Bank tak
sehat ini memiliki kesamaan. Kasus BC diawali dari proses merger 3 (tiga) bank yang tak
sehat dan Bank hasil merger (BC) ini ‘meledak’ pada tahun 2008, yaitu menjelang Pemilihan
Saat ini, sudah ada lebih dari 10 bank yang tak sehat dan oleh BI, Bank-bank ini
didorong untuk merger atau konsolidasi. Apakah lebih dari 10 bank ini akan ber-konsolidasi
sesuai saran BI? Jika muncul Bank hasil konsolidasi, maka semoga pada tahun 2013, Bank
hasil konsolidasi ini tidak meledak. Karena jika meledak, maka kondisi ini juga terjadi
menjelang pemilu, yaitu pemilu 2014. Apakah ini suatu kebetulan ? Jika ini terjadi, maka kita
hanya bisa mengucapkan: “Selamat Datang Century Jilid 2”. We’ll see.
Franky Ariyadi
Observer Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar